#StopPerkawinanAnak
Ngawi – Perkawinan anak merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi bangsa ini mengingat perkawinan anak berdampak pada seluruh aspek pemenuhan hak anak, termasuk gangguan bagi tumbuh kembang anak. Untuk itu, pelaksanaan kebijakan pencegahan perkawinan anak membutuhkan keterlibatan banyak pihak, yakni Kementerian/Lembaga, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota, termasuk mitra pembangunan lainnya untuk mendorong pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.
Tujuan RPJMN 2020-2024 yakni meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing diantaranya memiliki target mengurangi perkawinan anak dari 10,44 % pada 2021 menjadi 8,74% pada 2024. Komitmen ini diikuti dengan diterbitkannya Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) 2020 yang dicanangkan Pemerintah pada Februari 2020, dengan tujuan untuk mengurangi perkawinan anak menjadi 6,9% pada 2030 untuk perempuan usia 20-24 yang menikah sebelum usia 18 tahun.
Upaya dilakukan dalam menghentikan praktik perkawinan anak, salah satunya adalah lahirnya kebijakan perundang-undangan yang sangat progresif yakni Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tanggal 16 Oktober 2019, adalah bentuk komitmen Negara untuk melindungi anak. “Selain itu, Mahkamah Agung secara progresif juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin. PERMA tersebut saat ini menjadi aturan dasar bagi para hakim yang mengadili perkara dispensasi kawin. Dalam implementasinya, Pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) sebagai pengampu yang membidangi urusan Perempuan dan Anak, banyak diminta oleh Pengadilan Agama untuk memberikan rekomendasi bagi pemohon dispensasi kawin.
DP3AKB telah menyusun SOP Pemberian Rekomendasi Permohonan Dispensasi Kawin namun belum ada acuan bersama, mengingat masih beragam serta masih berdasarkan perspektif layanan di daerah. Sehubungan dengan hal itu diperlukan adanya sebuah panduan bagi DP3AKB untuk memberikan rekomendasi dispensasi kawin yang sama pada semua daerah serta perlu sinkronisasi dengan SOP yang ada di daerah, sebagai langkah awal dalam menyusun sebuah panduan rekomendasi dispensasi perkawinan dalam meningkatkan pengetahuan pencegahan dan penanganan perkawinan anak. Hal ini juga sebagai pedoman dalam memberikan rekomendasi bagi pemohon dispensasi kawin, serta memberikan gambaran koordinasi penanganan kasus perkawinan anak.
Dispensasi kawin merupakan kewenangan pengadilan untuk memutuskan apakah sebuah permohonan dispensasi kawin dapat dikabulkan atau tidak. Hakim menjadi sumber daya manusia yang akan menentukan proses peradilan permohonan dispensasi kawin tersebut. Upaya penanganan permohonan dispensasi kawin yang dapat dilakukan adalah pendampingan sebelum permohonan dispensasi kawin dilakukan dengan memberikan rekomendasi kondisi anak yang dimohonkan. Hal ini sesuai dengan amanah dari Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2019 bahwa Psikolog, Pekerja Sosial dari lembaga layanan yang ditunjuk dapat memberikan rekomendasi dalam dispensasi. Hal penting lainnya ditambahkan beliau bahwa terkait pandangan masyarakat bahwa jika yang dimohonkan telah hamil, Pengadilan Agama tidak serta merta akan mengabulkan permohonan, jadi tidak ada alasan harus hamil dulu jika ingin dikabulkan, dan terkait anak yang dilahirkan akan diberikan hak identitas oleh pengadilan.
Adapun rekomendasi tersebut berisi kondisi anak secara umum dan kondisi psikologisnya yang dapat memberikan gambaran bagi hakim yang memutuskan perkara tersebut. Penanganan dampak dispensasi kawin juga dapat dilakukan pada saat permohonan dispensasi kawin diputuskan. Ketika permohonan dispensasi kawin ditolak, maka unit layanan perempuan dan anak dapat memulihkan kondisi anak, termasuk memulihkan hak anak seperti hak pendidikan, bersosialisasi kembali dengan teman sebaya dan masyarakat. Dalam SOP ini memuat tugas lembaga layanan dalam upaya pencegahan dan penanganan perkawinan anak melalui dispensasi kawin. Lembaga layanan dalam hal ini adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dan Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA). Kedua lembaga layanan tersebut dapat menjalankan fungsinya untuk pendampingan dan berkoordinasi demi terpenuhinya hak anak mulai dari menjelaskan upaya pencegahan sebelum terjadinya perkawinan usia anak serta penanganan pasca keputusan permohonan dispensasi kawin, upaya perlindungan di bidang perlindungan anak, kesehatan, tanggung jawab pemerintah desa. (dikutip dari : https://www.kemenpppa.go.id/)